15 April 2008
Cerita Panas Sexualitasku Sebagai Wanita Lajang
0 komentarInilah Indonesia, negeri yang hipokrit dan suka mencampuri urusan orang lain, sehingga banyak wanita lajang yang menjadi tidak pede bahkan gelisah tiada tara lantaran terlalu sering menerima penghakiman semena-mena dan sewenang-wenang.
Lajang tanpa pacaran akan dibilang frigid atau cuma hobi onani dengan guling. Lajang tapi punya aktivitas seks dibilang nymphomania, hypersex, lapar penis, dahaga air mani.
Adakah yang salah dengan kelajangan seorang wanita? Ketika seorang wanita lajang terangsang kala melihat VCD, majalah, buku dan web erotis, lantas terangsang, maka akan dikomentari macam-macam. Tapi seorang wanita yang bersuami, bilamana terangsang oleh apapun akan dianggap wajar.
Seorang istri mengoleksi lusinan VCD porno akan dianggap sebagai wanita berbudi yang selalu belajar melayani suami. Tapi jika seorang wanita lajang punya sekeping VCD, apalagi adegannya hardcore komplet dari oral, minum sperma, sampai anal sex, maka akan dianggap sebagai penyimpangan, dan setiap lelaki akan mendekati dengan harapan akan mendapatkan undangan untuk menyetubuhi dan menghamburkan mani.
Ketika seorang wanita lajang dipergoki lagi masturbasi, maka cerita akan menyebar. Tapi ketika seorang istri onani, maka itu dianggap biasa, paling pol cuma ditambahi guyonan "dia tak dipuaskan oleh suaminya".
Ketika seorang wanita lajang kedapatan kencan, dan di bioskop kepergok lagi mengocok batang pasangannya, maka ceritanya menjadi gosip full of sensasi. Ketika di cafe si lajang berpakaian sexy, dan kedapatan sedang dipeluk pasangannya dari belakang sambil tangannya merabai payudara sehingga puting yang mengeras itu menerobos baju, maka cerita sensasi gosip pun kian menggila. Terpaan macam itu tak menimpa kaum wanita bersuami.
Menjadi wanita lajang di Indonesia berarti siap menjadi sorotan, termasuk dari kaumnya sendiri, karena dianggap menjadi ancaman yang akan merebut pacar/tunangan/suami mereka. Kalaupun pasangan mereka mau sama si lajang, bukankah itu kelemahan si pasangan, jadi jangan menuduh si lajang sebagai perebut laki orang dan penguras sperma laki orang dong!
Siapakah aku?
Aku adalah seorang wanita Indonesia, hasil persilangan banyak ras. Ada darah chinese, jawa, belanda, madura dan lebanon dalam diriku. Tinggiku 165 beratku 43-45 (naik turun). Umurku 35. Tubuhku fit. Pinggulku masih kencang, payudaraku masih kenyal (aku kan wanita, boleh dong membanggakan ini...). Bulu kakiku sudah aku matikan di salon (tapi tahun depan harus kembali lagi), ketiakku halus licin tanpa bulu, namun tanganku kubiarkan berbulu halus (ehmmm lelaki menyukainya...).
Aneka pekerjaan pernah kujalani (kecuali menjadi pelacur, oopsss.. sorry). Aku pernah lama di advertising, PR, broadcasting, event organizer, biro perjalanan. Sekarang aku menjadi konsultan.
Seringkali aku mendapat pertanyaan, "Apakah sudah menikah?" Yang lebih sopan, "Anda masih kelihatan cantik dan muda, alangkah bahagia dan bangganya suami Anda serta putra-putri Anda."
Jika jawabanku adalah, "Tidak, saya masih lajang," maka terdengar sahutan, "Maaf..." Mereka merasa bersalah karena telah menanyakan hal itu.
Padahal tidak punya suami itu kan sama saja dengan tidak punya mobil pribadi. Tak ada yang salah di situ. Tak ada yang sifatnya illegal.
Okelah, itu tadi yang sopan. Ada yang tampaknya sopan tapi menyebalkan, yaitu beberapa orang selalu berupaya mengenalkan dan mendekatkan aku kepada lelaki tertentu. Menjodohkan begitu seolah aku ini ayam betina yang butuh pejantan buat dibuahi. Apa dikiranya aku nggak bisa cari lelaki sendiri? Apa mereka tak ahu banyak lelaki yang ereksi kala merindukanku bahkan sampai onani untuk memboroskan mani secara percumah?
Mereka tak tahu, aku punya banyak kawan lelaki. Mereka tak tahu aku punya banyak teman lelaki untuk jalan bareng. Memang tak semuanya harus berujung pada kekusutan sprei karena intimacy adalah soal mau sama mau dan juga mood. Tak kurang jumlah lelaki gagah yang lengan maupun punggungnya bisa menjadi sasaran penggesekan putingku secara diam-diam sampai putingku mengeras, dan vaginaku kian melembab.
Ada lagi yang super menyebalkan. "Kamu ada masalah apa sih? Nggak butuh sex ya? Trauma sama laki ya, sehingga ngga mau kawin?"
Mereka tak tahu, aku butuh sex tapi sejauh ini selalu terpenuhi, baik dengan masturbasi maupun tubuh, otot, peluh dan mani lelaki.
Trauma? Apanya yang bikin trauma, orang yang namanya orgasme itu bisa bikin ketagihan.
Nggak mau kawin? Ya. Atau belum mau. Aku masih menikmati kelajanganku, karierku, kebebasanku. Aku tak mau kawin bukan karena tak bisa punya anak (gynecologist menyatakan aku subur). Aku ingin bebas. Bisa travelin sesukaku...
Apakah aku menjalani sex bebas? Tidak, tidak, tidak. Aku tak bisa bersetubuh dengan sembarangan lelaki. Kalau selalu siap menerima kontol mana saja, itu baru sex bebas namanya.
Aku butuh dan suka sex. Aku punya koleksi VCD yang aku borong di Glodok cukup dari mobil. Tapi setelah mobil berlalu mereka berkerumun sambil menunjuk mobilku -- aku melihatnya dari spion -- maka aku beralih pesan via internet.
Kalau ke luar negeri aku memborong edisi khususnya Screw dan Hustler, yang aku masukkan bareng semua dokumen dalam kardus, sehingga petugas airport tak memergokinya.
Pernah aku membeli dildo dan vibrator tapi ternyata tertembus oleh X-ray, dan petugas bandra senyum-senyum melecehkan. Hmmm risih juga jadi sasaran pelecehan sexual. Untung sex toys lainnya yang merupakan oleh-oleh teman masih saja ada dan terus berdatangan.
Jadi, sudah tidak perawankah aku?
Ya! Aku kehilangan virginity tanpa sakit tanpa sesal pada usia 24, dengan wartawan/fotografer yang setelah mengeksposku akhirnya dekat denganku, pacaran, dan kemudian bubar.
Suka masturbasikah aku?
Nanti dulu, apa ukuran "suka" itu? Frequency sekian kali per minggu atau bulan? Kalau pertanyaannya adalah apakah aku pernah dan masih bermasturbasi maka aku jawab "ya". Bisa seminggu empat kali, bisa 2 bulan prei, bisa sehari sampai 3 kali karena tiba-tiba horny banget.
Doyan sexkah aku?
Kalau doyan disini seperti doyan spagehtti dan pizza, yang aku santap 2 bulan sekali, maka jawabanku adalah "ya". Tapi seperti aku bilang tadi, aku gak main tubruk lelaki. Ini soal intimacy, padahal binatang saja pakai pilih-pilih dan menyesuaikan mood (ingatkah kalian kepada panda yang susah berkembang biak?)
Bisa mengoralkah aku?
Ya, tapi tidak dengan setiap lelaki.
Suka dioralkah aku?
Tentu.
Pernah meminum spermakah aku?
Pernah, tapi jarang, hanya dengan someone special -- meski dia suami orang. :)
Pernah anal sexkah aku?
Idem ditto.
Pernah threesome atau lebihkah aku?
Idem ditto, tapi bisa dihitung dengan jari, itupun lakinya cuma satu, tapi ceweknya lebih dari satu. Kalau aku harus melayani lelaki lebih dari satu aku merasa sebagai obyek, sebagai budak sex, dan aku tak sudi.
Banggakah aku dengan payudaraku?
Mengapa tidak. 34B, kenyal, mulus, nipples kemerahan, alami tanpa operasi, apa salahnya aku banggakan, toh aku tak sampai terjebak menjadi eksibisionis.
Bahagiakah aku dengan segala pesona fisik kewanitaanku?
Tentu. Pubic hair lurus, tak terlalu tipis seperti anak kecil, tak terlalu tebal seperti rimba amazon, kubiarkan alami, tanpa pemangkasan. Labia kemerahan, anus yang merah, pantat tanpa tembong kegelapan adalah milikku.
Lantas apakah yang sebetulnya ingin aku nyatakan?
Aku tak kelewat menyembunyikan beberapa segi sexualitasku, tapi juga tak mengumbarkan cerita kemana-mana.
Rasaku itu sebuah pilihan yang pas. Akan tetapi apakah yang kudapat? Sebutan hypersex, nympho, lajang gatal, pelahap kontol, penghirup mani, ratunya seni masturbasi. Anehnya tudingan itu justru datang dari kaumku, perempuan, terutama yang bersuami, yang tahu perkecananku.
Lebih kejam lagi tuduhan bahwa karier dan rezekiku kudapat dengan membaterkan tubuh. Puhhhh! Enak aja. Aku profesional, kerja keras. Aku juga menikmati kehidupan.
Di luar jam kerja kubiarkan stafku, yang mayoritas ceweklajang, untuk menggunakan internet. Mau chatting silahkan, mau buka gambar dan video porno silahkan karena itu memang materi buat adults, buat orang dewasa, bukan anak-anak.
Tapi mereka munafik, pura-pora ogah pornografi. Padahal dari server aku tahu gambar apa yang mereka pertukarkan, website apa yang mereka kunjungi, termasuk 17tahun.com. Kubiarkan mereka memergoki monitorku di luar jam kerja menampilkan gambar close up wanita facial dengan leleran sperma putih encer...
Sex adlah kebutuhan dan hak semua orang, termasuk wanita lajang. Sepanjang tak memperkosa dan memaksa orang maka itu bukan kejahatan. Tiga kali aku merenggut keperjakaan pria muda, usia SMP, SMU dan mahasiswa. Tapi itu bukan pemerkosaan dan pemaksaan. Mereka yang suka rela dan kemudian ketagihan.
Tak ada yang aneh dengan sex. Mau sehari onani tiga kali sampai lecet, atau tiga bulan nggak mikirin sex, buatku sah-sah saja. Tak ada hubungannya dengan normal maupun nyimpang.
Karena itu wahai wanita, terimalah kelajangan kalian dan jalanilah sexualitas kalian dengan nikmat. Tubuh kita dan gairah kita adalah milik kita. Hanya kita yang berhak memanagenya, bukan masyarakat sekitar kita.
Hak kita untuk memainkan dildo dan vibartor ke liang memek maupun dubur kita. Hak kita untuk onani sambil menikmati VCD. Bukankah itu tak merugikan masyarakat dan negara? Hak kita pula untuk tidak melakukan aktivitas erotik karena tidak mood, tidak nafsu, bahkan tidak ingat ada yang namanya S-E-X dalam hidup in!
Menjadi lajang itu bahagia, bahkan mungkin lebih bahagia daripada mereka yang bersuami. Peluh lelaki, kontol pria, sperma laki, orgaseme kita dengan jeritan tertahan dan rentetan kata-kata tabu bukanlah tujuan hidup. Itu hanya salah satu [sic!] sarana untuk mencapai kesenangan dan kebahagiaan.
Kaumku wanita lajang, terima dan nikmatilah sex apa adanya dengan atau tanpa lelaki di sisi kita, diatas tubuh kita, diatas ranjang kita...
Menjadi lajang berarti bebas dari tuduhan selingkuh, karena siapakah yang kita khianati? Tubuh kita, payudara kita, memek kita, cairan kita, adalah milik kita, bukan aset yang dikuasai oleh lembaga lain.
Tubuh kita, nafsu kita, fantasy kita, bukanlah aset konglomerat yang disita oleh BPPN. Semuanya milik kita, dalam sepenuhnya kontrol kita.
Akan tetapi jika kalian melajang karena terpaksa, lantaran tak ada pria yang tertarik, sehingga dicap sebagai perawan tua karena nyatanya masih virgin tentulah hal itu sama sekali lain ceritanya.
Itu kelajangan yang bukan oleh pilihan, bukan oleh kemerdekaan. Itu lajang sebagai hasil konstruksi masyarakat bahwa setiap perempuan harus bersuami, rela disetubuhi dan dibuahi kapanpun, dan itu merupakan contoh buruk dalam kehidupan wanita modern.
Lajang tanpa pacaran akan dibilang frigid atau cuma hobi onani dengan guling. Lajang tapi punya aktivitas seks dibilang nymphomania, hypersex, lapar penis, dahaga air mani.
Adakah yang salah dengan kelajangan seorang wanita? Ketika seorang wanita lajang terangsang kala melihat VCD, majalah, buku dan web erotis, lantas terangsang, maka akan dikomentari macam-macam. Tapi seorang wanita yang bersuami, bilamana terangsang oleh apapun akan dianggap wajar.
Seorang istri mengoleksi lusinan VCD porno akan dianggap sebagai wanita berbudi yang selalu belajar melayani suami. Tapi jika seorang wanita lajang punya sekeping VCD, apalagi adegannya hardcore komplet dari oral, minum sperma, sampai anal sex, maka akan dianggap sebagai penyimpangan, dan setiap lelaki akan mendekati dengan harapan akan mendapatkan undangan untuk menyetubuhi dan menghamburkan mani.
Ketika seorang wanita lajang dipergoki lagi masturbasi, maka cerita akan menyebar. Tapi ketika seorang istri onani, maka itu dianggap biasa, paling pol cuma ditambahi guyonan "dia tak dipuaskan oleh suaminya".
Ketika seorang wanita lajang kedapatan kencan, dan di bioskop kepergok lagi mengocok batang pasangannya, maka ceritanya menjadi gosip full of sensasi. Ketika di cafe si lajang berpakaian sexy, dan kedapatan sedang dipeluk pasangannya dari belakang sambil tangannya merabai payudara sehingga puting yang mengeras itu menerobos baju, maka cerita sensasi gosip pun kian menggila. Terpaan macam itu tak menimpa kaum wanita bersuami.
Menjadi wanita lajang di Indonesia berarti siap menjadi sorotan, termasuk dari kaumnya sendiri, karena dianggap menjadi ancaman yang akan merebut pacar/tunangan/suami mereka. Kalaupun pasangan mereka mau sama si lajang, bukankah itu kelemahan si pasangan, jadi jangan menuduh si lajang sebagai perebut laki orang dan penguras sperma laki orang dong!
Siapakah aku?
Aku adalah seorang wanita Indonesia, hasil persilangan banyak ras. Ada darah chinese, jawa, belanda, madura dan lebanon dalam diriku. Tinggiku 165 beratku 43-45 (naik turun). Umurku 35. Tubuhku fit. Pinggulku masih kencang, payudaraku masih kenyal (aku kan wanita, boleh dong membanggakan ini...). Bulu kakiku sudah aku matikan di salon (tapi tahun depan harus kembali lagi), ketiakku halus licin tanpa bulu, namun tanganku kubiarkan berbulu halus (ehmmm lelaki menyukainya...).
Aneka pekerjaan pernah kujalani (kecuali menjadi pelacur, oopsss.. sorry). Aku pernah lama di advertising, PR, broadcasting, event organizer, biro perjalanan. Sekarang aku menjadi konsultan.
Seringkali aku mendapat pertanyaan, "Apakah sudah menikah?" Yang lebih sopan, "Anda masih kelihatan cantik dan muda, alangkah bahagia dan bangganya suami Anda serta putra-putri Anda."
Jika jawabanku adalah, "Tidak, saya masih lajang," maka terdengar sahutan, "Maaf..." Mereka merasa bersalah karena telah menanyakan hal itu.
Padahal tidak punya suami itu kan sama saja dengan tidak punya mobil pribadi. Tak ada yang salah di situ. Tak ada yang sifatnya illegal.
Okelah, itu tadi yang sopan. Ada yang tampaknya sopan tapi menyebalkan, yaitu beberapa orang selalu berupaya mengenalkan dan mendekatkan aku kepada lelaki tertentu. Menjodohkan begitu seolah aku ini ayam betina yang butuh pejantan buat dibuahi. Apa dikiranya aku nggak bisa cari lelaki sendiri? Apa mereka tak ahu banyak lelaki yang ereksi kala merindukanku bahkan sampai onani untuk memboroskan mani secara percumah?
Mereka tak tahu, aku punya banyak kawan lelaki. Mereka tak tahu aku punya banyak teman lelaki untuk jalan bareng. Memang tak semuanya harus berujung pada kekusutan sprei karena intimacy adalah soal mau sama mau dan juga mood. Tak kurang jumlah lelaki gagah yang lengan maupun punggungnya bisa menjadi sasaran penggesekan putingku secara diam-diam sampai putingku mengeras, dan vaginaku kian melembab.
Ada lagi yang super menyebalkan. "Kamu ada masalah apa sih? Nggak butuh sex ya? Trauma sama laki ya, sehingga ngga mau kawin?"
Mereka tak tahu, aku butuh sex tapi sejauh ini selalu terpenuhi, baik dengan masturbasi maupun tubuh, otot, peluh dan mani lelaki.
Trauma? Apanya yang bikin trauma, orang yang namanya orgasme itu bisa bikin ketagihan.
Nggak mau kawin? Ya. Atau belum mau. Aku masih menikmati kelajanganku, karierku, kebebasanku. Aku tak mau kawin bukan karena tak bisa punya anak (gynecologist menyatakan aku subur). Aku ingin bebas. Bisa travelin sesukaku...
Apakah aku menjalani sex bebas? Tidak, tidak, tidak. Aku tak bisa bersetubuh dengan sembarangan lelaki. Kalau selalu siap menerima kontol mana saja, itu baru sex bebas namanya.
Aku butuh dan suka sex. Aku punya koleksi VCD yang aku borong di Glodok cukup dari mobil. Tapi setelah mobil berlalu mereka berkerumun sambil menunjuk mobilku -- aku melihatnya dari spion -- maka aku beralih pesan via internet.
Kalau ke luar negeri aku memborong edisi khususnya Screw dan Hustler, yang aku masukkan bareng semua dokumen dalam kardus, sehingga petugas airport tak memergokinya.
Pernah aku membeli dildo dan vibrator tapi ternyata tertembus oleh X-ray, dan petugas bandra senyum-senyum melecehkan. Hmmm risih juga jadi sasaran pelecehan sexual. Untung sex toys lainnya yang merupakan oleh-oleh teman masih saja ada dan terus berdatangan.
Jadi, sudah tidak perawankah aku?
Ya! Aku kehilangan virginity tanpa sakit tanpa sesal pada usia 24, dengan wartawan/fotografer yang setelah mengeksposku akhirnya dekat denganku, pacaran, dan kemudian bubar.
Suka masturbasikah aku?
Nanti dulu, apa ukuran "suka" itu? Frequency sekian kali per minggu atau bulan? Kalau pertanyaannya adalah apakah aku pernah dan masih bermasturbasi maka aku jawab "ya". Bisa seminggu empat kali, bisa 2 bulan prei, bisa sehari sampai 3 kali karena tiba-tiba horny banget.
Doyan sexkah aku?
Kalau doyan disini seperti doyan spagehtti dan pizza, yang aku santap 2 bulan sekali, maka jawabanku adalah "ya". Tapi seperti aku bilang tadi, aku gak main tubruk lelaki. Ini soal intimacy, padahal binatang saja pakai pilih-pilih dan menyesuaikan mood (ingatkah kalian kepada panda yang susah berkembang biak?)
Bisa mengoralkah aku?
Ya, tapi tidak dengan setiap lelaki.
Suka dioralkah aku?
Tentu.
Pernah meminum spermakah aku?
Pernah, tapi jarang, hanya dengan someone special -- meski dia suami orang. :)
Pernah anal sexkah aku?
Idem ditto.
Pernah threesome atau lebihkah aku?
Idem ditto, tapi bisa dihitung dengan jari, itupun lakinya cuma satu, tapi ceweknya lebih dari satu. Kalau aku harus melayani lelaki lebih dari satu aku merasa sebagai obyek, sebagai budak sex, dan aku tak sudi.
Banggakah aku dengan payudaraku?
Mengapa tidak. 34B, kenyal, mulus, nipples kemerahan, alami tanpa operasi, apa salahnya aku banggakan, toh aku tak sampai terjebak menjadi eksibisionis.
Bahagiakah aku dengan segala pesona fisik kewanitaanku?
Tentu. Pubic hair lurus, tak terlalu tipis seperti anak kecil, tak terlalu tebal seperti rimba amazon, kubiarkan alami, tanpa pemangkasan. Labia kemerahan, anus yang merah, pantat tanpa tembong kegelapan adalah milikku.
Lantas apakah yang sebetulnya ingin aku nyatakan?
Aku tak kelewat menyembunyikan beberapa segi sexualitasku, tapi juga tak mengumbarkan cerita kemana-mana.
Rasaku itu sebuah pilihan yang pas. Akan tetapi apakah yang kudapat? Sebutan hypersex, nympho, lajang gatal, pelahap kontol, penghirup mani, ratunya seni masturbasi. Anehnya tudingan itu justru datang dari kaumku, perempuan, terutama yang bersuami, yang tahu perkecananku.
Lebih kejam lagi tuduhan bahwa karier dan rezekiku kudapat dengan membaterkan tubuh. Puhhhh! Enak aja. Aku profesional, kerja keras. Aku juga menikmati kehidupan.
Di luar jam kerja kubiarkan stafku, yang mayoritas ceweklajang, untuk menggunakan internet. Mau chatting silahkan, mau buka gambar dan video porno silahkan karena itu memang materi buat adults, buat orang dewasa, bukan anak-anak.
Tapi mereka munafik, pura-pora ogah pornografi. Padahal dari server aku tahu gambar apa yang mereka pertukarkan, website apa yang mereka kunjungi, termasuk 17tahun.com. Kubiarkan mereka memergoki monitorku di luar jam kerja menampilkan gambar close up wanita facial dengan leleran sperma putih encer...
Sex adlah kebutuhan dan hak semua orang, termasuk wanita lajang. Sepanjang tak memperkosa dan memaksa orang maka itu bukan kejahatan. Tiga kali aku merenggut keperjakaan pria muda, usia SMP, SMU dan mahasiswa. Tapi itu bukan pemerkosaan dan pemaksaan. Mereka yang suka rela dan kemudian ketagihan.
Tak ada yang aneh dengan sex. Mau sehari onani tiga kali sampai lecet, atau tiga bulan nggak mikirin sex, buatku sah-sah saja. Tak ada hubungannya dengan normal maupun nyimpang.
Karena itu wahai wanita, terimalah kelajangan kalian dan jalanilah sexualitas kalian dengan nikmat. Tubuh kita dan gairah kita adalah milik kita. Hanya kita yang berhak memanagenya, bukan masyarakat sekitar kita.
Hak kita untuk memainkan dildo dan vibartor ke liang memek maupun dubur kita. Hak kita untuk onani sambil menikmati VCD. Bukankah itu tak merugikan masyarakat dan negara? Hak kita pula untuk tidak melakukan aktivitas erotik karena tidak mood, tidak nafsu, bahkan tidak ingat ada yang namanya S-E-X dalam hidup in!
Menjadi lajang itu bahagia, bahkan mungkin lebih bahagia daripada mereka yang bersuami. Peluh lelaki, kontol pria, sperma laki, orgaseme kita dengan jeritan tertahan dan rentetan kata-kata tabu bukanlah tujuan hidup. Itu hanya salah satu [sic!] sarana untuk mencapai kesenangan dan kebahagiaan.
Kaumku wanita lajang, terima dan nikmatilah sex apa adanya dengan atau tanpa lelaki di sisi kita, diatas tubuh kita, diatas ranjang kita...
Menjadi lajang berarti bebas dari tuduhan selingkuh, karena siapakah yang kita khianati? Tubuh kita, payudara kita, memek kita, cairan kita, adalah milik kita, bukan aset yang dikuasai oleh lembaga lain.
Tubuh kita, nafsu kita, fantasy kita, bukanlah aset konglomerat yang disita oleh BPPN. Semuanya milik kita, dalam sepenuhnya kontrol kita.
Akan tetapi jika kalian melajang karena terpaksa, lantaran tak ada pria yang tertarik, sehingga dicap sebagai perawan tua karena nyatanya masih virgin tentulah hal itu sama sekali lain ceritanya.
Itu kelajangan yang bukan oleh pilihan, bukan oleh kemerdekaan. Itu lajang sebagai hasil konstruksi masyarakat bahwa setiap perempuan harus bersuami, rela disetubuhi dan dibuahi kapanpun, dan itu merupakan contoh buruk dalam kehidupan wanita modern.
0 komentar: to “ Cerita Panas Sexualitasku Sebagai Wanita Lajang ”
Posting Komentar