16 April 2008
Cerita Panas Gairahku Dengan Mbak Yani
0 komentarSetelah pindah dari rumah Tante Nita aku kos di daerah Taman Sari. Tempat kosnya cukup enak, lingkungannya juga cocok karena banyak mahasiswa. Tidak seperti di tempat Tante Nita, di tempatku yang baru ibu kosnya sudah tua dan sama sekali tidak menarik. Jadi aku sama sekali tidak berharap bisa menikmati hal-hal romantis dengan ibu kos di sini. Untunglah sebelum pindah aku dan Tante Nita sepakat tetap saling menguhubungi. Jadi kalau libidoku sedang tinggi aku langsung pergi ke wartel untuk bikin janji dengan Tante Nita, biasanya Tante Nita akan langsung menjemputku untuk pergi berkencan ke Lembang.
Tidak berapa jauh dari tempatku, ada seorang mahasiswi cantik. Angkatannya beda empat tahun denganku, kuliah tingkat akhir di Fakultas Hukum sebuah universitas swasta terkenal di daerah Taman Sari. Namanya sebut saja Yani, aku memanggilnya 'Mbak Yani' karena dia memang lebih tua dariku dan berasal dari Malang. Untuk ukuran cewek tingginya lumayan, kira-kira 165 cm, cuma beda 3 cm dariku. Rambutnya lurus panjangnya sedikit di bawah bahu, kulitnya putih dan bodynya bagus banget. Apalagi kalau sedang pakai jeans dan T-shirt, wow! Kalau dari skala 0 sampai 10 aku bisa kasih dia nilai 8,7 (Tante Nita cuma 6,8). Hanya sayangnya dia sudah punya pacar. Tapi sebagai tetangga kami cukup akrab, kadang aku main ke tempat kosnya sekedar untuk ngobrol dan nonton TV.
Suatu hari ketika aku datang ke tempat kosnya, aku lihat Mbak Yani sedang duduk termenung di depan kamarnya. Matanya terlihat sembab seperti habis menangis. "Lho Mbak, ada apa kok kayaknya baru menangis? Belum dikirimin duit yaa...?" aku mencoba mengajaknya becanda seperti biasa. Mbak Yani hanya menggeleng diam. Wah... kayaknya serius nih... akupun terdiam beberapa saat sambil mencoba mencerna situasi.
"Ya udah Mbak, aku minta maaf... kalau Mbak lagi pengen sendiri aku balik dulu ya..."
"Nggak apa-apa Don, kamu kalau mau nonton TV disini aja, nggak usah pulang... sekalian kamu temenin mbak ya.." katanya sambil mempersilahkan aku masuk.
Kasihan Mbak Yani, baru sekali ini dia kelihatan sedih sekali. Tentu ada persoalan yang cukup besar buatnya. Sambil nonton TV aku mencoba menghiburnya, "Mbak.. ada masalah apa? Cerita aja ke Doni... biar sedihnya nggak ditanggung sendiri. Aku sudah menganggap Mbak Yani sebagai kakakku sendiri kok."
Setelah terdiam beberapa saat Mbak Yani mulai bicara dengan suara menahan perasaan, "Aku baru putus sama Mas Ary... cowok sialan itu ternyata punya pacar lagi dan hamil..."
Pelupuk mata Mbak Yani tampak berkaca-kaca.
"Tega-teganya dia berbuat seperti itu, padahal sudah empat tahun kami pacaran dan aku tidak pernah sedikitpun mengecewakan dia. Apa semua cowok seperti itu Don?"
"Nggak semua begitu mbak... sudah lupakan saja semua yang sudah terjadi, Mbak Yani masih punya banyak waktu untuk memulai lagi yang baru. Masih banyak cowok yang baik dan pantas buat Mbak Yani..." kataku sambil memegang tangannya. Mbak Yani tampak mencoba tersenyum, manis sekali.
"Mbak gimana kalau kita jalan-jalan naik motorku... biar Mbak Yani nggak sedih terus gitu... kita minum bajigur di Jalan Supratman yukk," aku mencoba menawarkan jasa. Mbak Yani mengangguk setuju.
Kamipun meluncur ke Jalan Supratman. Itulah pertama kali aku mengajak Mbak Yani naik Honda GL-Pro kesayanganku. Kesedihannya perlahan mulai mencair dan Mbak Yani mulai banyak menceritakan kekesalannya pada Mas Ary, bekas cowoknya. Aku hanya mengangguk-angguk sambil terus memegang tangannya yang melingkar di pinggangku.
Sampai di warung bajigur di Jalan Supratman kami langsung mencari tempat duduk yang enak untuk ngobrol. Aku tahu Mbak Yani sangat butuh tempat untuk mencurahkan semua kekesalannya. Sambil kami menikmati bajigur dan gorengan Mbak Yani masih terus bercerita panjang lebar, aku jadi pendengar yang baik sambil sekali-sekali mengiyakan dan mencoba menghiburnya.
Setelah Mbak Yani puas menceritakan semua uneg-unegnya kamipun pulang. Sepertinya Mbak Yani betul-betul terlepas dari beban kesedihannya, dia mulai bisa bercanda lagi seperti biasa. Sepanjang jalan Mbak Yani memeluk pinggangku dengan erat, kepalanya disenderkan ke punggungku. Aku senang sekali bisa membuatnya terhibur.
Sampai di rumah kira-kira jam 10 malam, aku mengantar Mbak Yani ke tempat kosnya. Saat aku mau pulang tiba-tiba Mbak Yani memegang tanganku, "Don, kamu jangan langsung pulang ya.. temenin Mbak nonton TV sebentar..." Aku mengangguk.
Tidak seperti biasanya, kali ini Mbak Yani kelihatan begitu manja padaku. Di ruang TV ia merebahkan kepalanya di pangkuanku. Ah.. ini kesempatan yang nggak akan datang dua kali pikirku. Sementara tangan kiriku memegang tangan kirinya, tangan kananku membelai-belai rambutnya yang lembut dan harum. Suasana malam itu menjadi terasa romantis. Perlahan-lahan naluri kelaki-lakianku mulai bangkit. Dengan lembut kucium pelipis Mbak Yani, dia diam saja tapi tangannya meremas tanganku.
Sekali lagi pelipisnya kucium, kali ini Mbak Yani membalikkan wajahnya dan menatapku. Tanpa pikir panjang aku perlahan-lahan mendekatkan bibirku pada bibirnya dan kami mulai berciuman. Bibirnya terasa hangat dan lembut sekali di bibirku.
Mbak Yani melepaskan bibirnya, "Don.. nggak enak disini, kita di kamar aja ya..."
Kamipun masuk ke kamar dan Mbak Yani langsung mengunci pintu. Masih dalam posisi berdiri, sambil kubelai rambutnya kembali bibir kami saling melumat.
Tanganku perlahan-lahan mulai menjelajahi tubuhnya. Saat tanganku menyentuh payudaranya, Mbak Yani mendadak melepaskan ciumannya, "Don... jangan..." Tapi dari tatapannya aku merasa kalau Mbak Yani ragu, antara mau dan malu. Aku hanya tersenyum, lalu bibir kami kembali saling melumat. Kuulangi lagi tanganku menjalari tubuhnya perlahan-lahan hingga akhirnya sampai kembali di payudaranya. Kali ini Mbak Yani tidak menolak, malah bibirnya semakin kuat memagut bibirku dan lidahnya terus melilit lidahku. Perlahan-lahan kuremas payudaranya dengan lembut. Mbak Yani semakin erat memelukku dan tangannya juga mulai aktif menggerayangi punggungku. Satu demi satu kancing bajunya kubuka, tak ada tanda-tanda Mbak Yani melarangku. Akhirnya tanganku mulai berani masuk ke sela-sela BH-nya dari bawah.
Ah... betapa empuk dan hangatnya payudara gadis cantik ini. Payudaranya jelas tidak sebesar punya Tante Nita tapi yang pasti terasa lebih kencang dan mulus. Ketika jariku mulai menyentuh puting susunya yang mungil Mbak Yani mulai menggeliat terangsang. Perlahan-lahan kulepas baju Mbak Yani, lalu kemudian BH-nya. Akupun melepas bajuku sehingga kami berdua berciuman dalam keadaan telanjang setengah badan.
Mbak Yani kemudian mengajakku ke tempat tidurnya, ia langsung merebahkan diri dan menarik tanganku untuk berbaring di sebelahnya. Di atas tempat tidur, sambil bibir kami saling melumat, tangan kananku terus aktif memainkan payudara dan putingnya. Mbak Yani makin terangsang dan mulai berdesah-desah keenakan, "Ah...mmh...mmhhh..."
Kemudian tanganku mulai berpindah ke bawah, perlahan-lahan kubuka kancing dan resleting celana jeansnya. Tanganku mulai menyelinap ke balik celana dalamnya. Kurasakan bulu-bulu halus disekitar vagina Mbak Yani, kemudian jariku menemukan belahan vaginanya yang hangat dan mulai basah. Saat jari tengahku menyentuh klitorisnya, Mbak Yani mendesah kuat tertahan sambil memegang tanganku, "Mmmhhh.....uuuhh.."
Kepalaku mulai turun ke bawah, ke arah payudara Mbak Yani. Sementara tanganku terus mengeksplorasi klitoris dan lubang vagina Mbak Yani, lidahku yang nakal mulai menjilati payudara dan putingnya. Kadang-kadang putingnya kuemut dan kuhisap sambil kupermainkan dengan lidah. Mbak Yani terus menggelinjang keenakan sambil tangan kirinya meremas rambutku sementara itu nafasnya terdengar mulai berat.
"Mbak, aku lepas semua ya...," kataku sambil melepaskan celana jeans dan celana dalam dari kakinya. Mbak Yani hanya diam pasrah. Aku lalu melepaskan celanaku sendiri sehingga kami berdua terbaring di tempat tidurnya tanpa sehelai benangpun. Sejenak kutatapi seluruh tubuh Mbak Yani, indah sekali. Lekuk tubuhnya nyaris sempurna dan mulus sekali tanpa cacat sedikitpun. Payudaranya yang berukuran sedang menyembul kencang dengan putingnya yang mungil berwarna sedikit lebih gelap dari kulitnya. Sementara itu di vaginanya tampak ditumbuhi bulu-bulu halus yang mencoba menutupi belahannya yang terlihat basah dan berwarna merah muda.
"Mbak Yani cantik sekali... indah luar biasa..," pujian spontan keluar dari mulutku. Mbak Yani hanya tersenyum malu, kulihat wajahnya yang putih berubah memerah. Ah.. Mbak Yani, sekarang nilaimu kutambah jadi 9!
Perlahan-lahan aku mengambil posisi di antara kedua kakinya. Kuangkat kaki kiri Mbak Yani dan betisnya kujilati, perlahan-lahan jilatanku bergeser ke lutut lalu ke daerah pahanya. Akhirnya sampailah aku di pangkal pahanya. Dengan lembut kusibakkan bulu-bulu halusnya dan jari-jariku mulai membuka belahan vaginanya, sehingga lubang vagina Mbak Yani dan klitorisnya yang mungil tampak jelas. Langsung kukecup vagina Mbak Yani dan kujilati liangnya dengan penuh semangat, sementara Mbak Yani tergolek pasrah sambil memejamkan mata. Aroma vagina Mbak Yani yang khas membuatku semakin bernafsu. Saat klitorisnya kupermainkan dengan lidahku Mbak Yani mendesah lagi dan menekan kepalaku dengan kedua tangannya, "Aahhh.. Doni... Mmhh..."
Tidak sampai 5 menit Mbak Yani mulai tidak tahan dan minta berhenti, "Stop dulu Don.. Mbak udah nggak tahan... nanti keluar, Mbak mau gantian, boleh?"
Aku melepaskan kepalaku dari selangkangan Mbak Yani dan pindah berbaring di sebelahnya. Mbak Yani bangkit memegang penisku dan langsung menjilatinya sambil tangannya meremas buah zakarku. Mbak Yani tidak membiarkan satu bagianpun dari penisku yang bebas dari jilatan lidahnya, semuanya dijilati habis mulai daripangkal penis sampai kepala penis dan lubangnya. Bahkan sesekali ia menjilati bola pingpongku sampai ke bagian pangkalnya sehingga menimbulkan rasa geli-geli nikmat yang luar biasa.
Setelah puas dengan lidahnya, ia mulai memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Sambil bibirnya menghisap, Mbak Yani terus mempermainkan batang penisku dengan lidahnya. Luar biasa, tidak kusangka Mbak Yani yang cantik dan sehari-hari demikian sopan dan lembut ternyata sangat mahir dalam mempermainkan penis seorang pria.
Pinggulku tanpa sadar mulai bergerak-gerak mengimbangi rangsangan Mbak Yani dan aku mulai mendesah-desah ke enakan, "Mmh... Mbak... enak Mbak... terusin Mbak..." Sementara aku menikmati oral Mbak Yani, tanganku menyelinap di bawah perutnya dan mulai menjelajahi selangkangannya. Aku langsung mengusap-usap klitoris Mbak Yani yang sudah sangat basah dan mengeras dengan jari tengahku.
Tidak berapa lama kemudian badan Mbak Yani terasa mulai bergetar tak teratur, ia langsung melepaskan penisku dan menarik tanganku dari klitorisnya. "Doni... masukin sekarang ya... Mbak hampir nggak tahan..," katanya sambil merebahkan diri di sampingku dengan nafas yang terengah-engah.
Aku bangkit, Mbak Yani langsung mengangkat lutut dan membuka kakinya. Celah vagina Mbak Yani tampak sedikit terbuka dan sudah basah oleh cairannya sendiri.
"Mbak, kalau Doni keluar di dalam bagaimana?" tanyaku.
"Enggak apa-apa, Mbak baru selesai mens dua hari yang lalu jadi sekarang masih aman," katanya sambil tersenyum menantang. Ah.. Mbak Yani, tergeletak pasrah seperti itu membuatnya tampak seksi sekali dan aku menjadi sangat terangsang. Penisku terasa mengeras dan membesar siap meledak. Aku ingin segera menindih tubuhnya dan memasukkan penisku ke dalam vaginanya.
Langsung kuarahkan penisku ke selangkangannya, perlahan kubuka bibir vagina Mbak Yani dan kepala penisku kuletakkan tepat di atas lubang vaginanya. Dengan dorongan yang perlahan tapi pasti masuklah seluruh penisku ke dalam lubang Mbak Yani. "Mmhh....," Mbak Yani mendesah perlahan sambil menggigit bibirnya. Gila, rasanya enak banget. Dibanding dengan punya Tante Nita jelas vagina Mbak Yani lebih fresh dan lebih sempit. Aku merasakan batang penisku dari pangkal sampai ujung seperti dicengkeram oleh dinding-dinding vagina Mbak Yani. Sambil kucium lehernya, kumasukkan penisku dalam-dalam dan kutahan bberapa saat untuk meresapi sensasi nikmat yang diberikan oleh vagina Mbak Yani.
Akhirnya pinggul Mbak Yani mulai bergerak-gerak meminta aku untuk menggesek-gesekkan penisku. Akupun mulai menggerak-gerakan pinggulku untuk menancapkan penisku berulang-ulang ke dalam vagina Mbak Yani. Sementara itu tangan kiriku menggenggam tangan kanan Mbak Yani dan tangan kananku meremas payudara serta mempermainkan putingnya. Mata Mbak Yani tampak terpejam dan bibir bawahnya terus digigit menahan nikmat. Kami berganti posisi berkali-kali, kadang Mbak Yani di atas, lalu kembali aku yang di atas.
Kira-kira setelah limabelas menit berlalu kurasakan gerakan Mbak Yani makin lama makin kuat dan desahannya makin sering serta nafasnya semakin berat. Sementara itu tangannya makin erat memelukku. Kelihatannya Mbak Yani sudah hampir orgasme dan akupun mulai merasakan dorongan yang sama... aku sudah hampir kehilangan kontrol.
"Doni.. mmhh... Mbak udah hampir keluar.."
"Doni juga Mbak, kita barengan ya..."
"Mmmh... Doni... Mbak nggak tahan lagi...Aaah..."
Pinggul Mbak Yani terasa menyentak-nyentak ke atas, akupun menusukkan penisku makin cepat dan makin dalam...sampai akhirnya kenikmatan puncak itu sudah tidak dapat kami tahankan lagi....
"Donii.... Uuuhhhh... aaahhhhh..."
"Mbak Yani..... Aaaaghhhh......"
Kupeluk Mbak Yani erat-erat dan diapun mencengkeram punggungku dengan sekuat tenaga, kami orgasme bersamaan dengan penisku tertanam dalam-dalam di vagina Mbak Yani sambil mengeluarkan seluruh isinya. Sebuah orgasme yang luar biasa nikmat. Kami berpelukan cukup lama sampai akhirnya aku mulai merasakan kelelahan akibat orgasme yang intens. Kukecup bibir Mbak Yani dan aku merebahkan diriku di sampingnya. Mbak Yani terlihat terengah-engah kelelahan, matanya masih terpejam dan mulutnya sedikit terbuka.
Kupandangi wajah Mbak Yani yang basah oleh keringat tampak begitu cantik dan seksi dalam kelelahannya. Tapi tiba-tiba kulihat ada air mata yang menetes dari kedua ujung matanya. Aku tersadar kalau aku mungkin telah melakukan perbuatan yang tidak seharusnya kulakukan. Aku telah mengambil kesempatan dari kerapuhan emosi Mbak Yani saat dia sedang patah hati...
"Mbak... Doni minta maaf mbak... seharusnya Doni nggak begitu sama Mbak Yani..," kataku sambil membelai rambutnya. Mbak Yani mengusap air matanya dan menatapku sambil tersenyum.
"Nggak apa-apa Don, Mbak nggak nyesel melakukan ini dengan kamu. Mbak hanya teringat sama si Ary sialan itu. Mbak sudah menyerahkan segalanya sama dia dan sampai kami putus Mbak tidak pernah dengan orang lain selain dia. Tapi ternyata....,"
"Sudahlah... Mbak... nggak usah diingat lagi...," aku spontan meletakkan telunjukku di mulutnya supaya Mbak Yani tidak terus bicara mengenai bekas cowoknya.
Aku lega karena bukan aku yang menyebabkannya menangis, langsung kubelai lagi rambut Mbak Yani dan kukecup lembut bibirnya. Kubiarkan Mbak Yani merebahkan kepalanya di dadaku sambil kupeluk. Malam itu terasa begitu indah sekali, sayang sekali aku tidak bisa menginap di rumah Mbak Yani. Aku tidak ingin Mbak Yani diusir dari tempat kosnya gara-gara aku.
Sejak saat itu hubunganku dengan Mbak Yani menjadi semakin dekat, dan setiap ada kesempatan kami tidak segan-segan mengulangi lagi apa yang kami perbuat malam itu. Mbak Yani tidak pernah menyesalinya, apalagi aku. Tapi hubunganku dengan Mbak Yani tetap seperti adik-kakak, sekalipun sebenarnya aku mengharapkan bisa menjadi kekasihnya. Tampaknya Mbak Yani masih belum mau menjalin kisah asmara baru dengan siapapun.
Hubunganku dengan Mbak Yani tidak berlangsung lama karena tujuh bulan setelah itu Mbak Yani lulus dan kembali ke Malang. Sebelum kami berpisah Mbak Yani sempat meneraktirku menginap semalam di Hotel Putri Gunung, Lembang. Katanya Mbak Yani mau punya kenangan indah denganku.
Kami menikmati malam terakhir itu dengan bersetubuh sepanjang malam sampai kami benar-benar lelah dan tertidur pulas hingga siang. Begitu bangun tidur kami langsung melakukannya lagi, di tempat tidur, di lantai, dan juga di bathtub. Kalau kelelahan kami hanya berbaring tanpa busana sambil berpelukan menunggu energi kami pulih kembali. Kami hanya keluar kamar untuk makan dan sekadar jalan-jalan di sekitar hotel, setelah itu kami kembali ke kamar untuk bercumbu, bersenggama, dan menikmati setiap detik kebersamaan kami yang terakhir. Kami pulang kembali ke Bandung dalam keadaan lelah dan benar-benar puas.
Lima tahun kemudian, aku menerima sebuah undangan perkawinan bertuliskan, "Kepada Adikku Tersayang...." Aku bersyukur ternyata kakakku yang cantik itu akhirnya menikah juga dengan pria pilihannya. Calon suaminya seorang pengusaha real-estate. Aku datang ke pesta perkawinannya di Malang dan memberikan selamat serta doa... Mbak semoga suamimu tidak pernah membuatmu menangis seperti dulu.
Tidak berapa jauh dari tempatku, ada seorang mahasiswi cantik. Angkatannya beda empat tahun denganku, kuliah tingkat akhir di Fakultas Hukum sebuah universitas swasta terkenal di daerah Taman Sari. Namanya sebut saja Yani, aku memanggilnya 'Mbak Yani' karena dia memang lebih tua dariku dan berasal dari Malang. Untuk ukuran cewek tingginya lumayan, kira-kira 165 cm, cuma beda 3 cm dariku. Rambutnya lurus panjangnya sedikit di bawah bahu, kulitnya putih dan bodynya bagus banget. Apalagi kalau sedang pakai jeans dan T-shirt, wow! Kalau dari skala 0 sampai 10 aku bisa kasih dia nilai 8,7 (Tante Nita cuma 6,8). Hanya sayangnya dia sudah punya pacar. Tapi sebagai tetangga kami cukup akrab, kadang aku main ke tempat kosnya sekedar untuk ngobrol dan nonton TV.
Suatu hari ketika aku datang ke tempat kosnya, aku lihat Mbak Yani sedang duduk termenung di depan kamarnya. Matanya terlihat sembab seperti habis menangis. "Lho Mbak, ada apa kok kayaknya baru menangis? Belum dikirimin duit yaa...?" aku mencoba mengajaknya becanda seperti biasa. Mbak Yani hanya menggeleng diam. Wah... kayaknya serius nih... akupun terdiam beberapa saat sambil mencoba mencerna situasi.
"Ya udah Mbak, aku minta maaf... kalau Mbak lagi pengen sendiri aku balik dulu ya..."
"Nggak apa-apa Don, kamu kalau mau nonton TV disini aja, nggak usah pulang... sekalian kamu temenin mbak ya.." katanya sambil mempersilahkan aku masuk.
Kasihan Mbak Yani, baru sekali ini dia kelihatan sedih sekali. Tentu ada persoalan yang cukup besar buatnya. Sambil nonton TV aku mencoba menghiburnya, "Mbak.. ada masalah apa? Cerita aja ke Doni... biar sedihnya nggak ditanggung sendiri. Aku sudah menganggap Mbak Yani sebagai kakakku sendiri kok."
Setelah terdiam beberapa saat Mbak Yani mulai bicara dengan suara menahan perasaan, "Aku baru putus sama Mas Ary... cowok sialan itu ternyata punya pacar lagi dan hamil..."
Pelupuk mata Mbak Yani tampak berkaca-kaca.
"Tega-teganya dia berbuat seperti itu, padahal sudah empat tahun kami pacaran dan aku tidak pernah sedikitpun mengecewakan dia. Apa semua cowok seperti itu Don?"
"Nggak semua begitu mbak... sudah lupakan saja semua yang sudah terjadi, Mbak Yani masih punya banyak waktu untuk memulai lagi yang baru. Masih banyak cowok yang baik dan pantas buat Mbak Yani..." kataku sambil memegang tangannya. Mbak Yani tampak mencoba tersenyum, manis sekali.
"Mbak gimana kalau kita jalan-jalan naik motorku... biar Mbak Yani nggak sedih terus gitu... kita minum bajigur di Jalan Supratman yukk," aku mencoba menawarkan jasa. Mbak Yani mengangguk setuju.
Kamipun meluncur ke Jalan Supratman. Itulah pertama kali aku mengajak Mbak Yani naik Honda GL-Pro kesayanganku. Kesedihannya perlahan mulai mencair dan Mbak Yani mulai banyak menceritakan kekesalannya pada Mas Ary, bekas cowoknya. Aku hanya mengangguk-angguk sambil terus memegang tangannya yang melingkar di pinggangku.
Sampai di warung bajigur di Jalan Supratman kami langsung mencari tempat duduk yang enak untuk ngobrol. Aku tahu Mbak Yani sangat butuh tempat untuk mencurahkan semua kekesalannya. Sambil kami menikmati bajigur dan gorengan Mbak Yani masih terus bercerita panjang lebar, aku jadi pendengar yang baik sambil sekali-sekali mengiyakan dan mencoba menghiburnya.
Setelah Mbak Yani puas menceritakan semua uneg-unegnya kamipun pulang. Sepertinya Mbak Yani betul-betul terlepas dari beban kesedihannya, dia mulai bisa bercanda lagi seperti biasa. Sepanjang jalan Mbak Yani memeluk pinggangku dengan erat, kepalanya disenderkan ke punggungku. Aku senang sekali bisa membuatnya terhibur.
Sampai di rumah kira-kira jam 10 malam, aku mengantar Mbak Yani ke tempat kosnya. Saat aku mau pulang tiba-tiba Mbak Yani memegang tanganku, "Don, kamu jangan langsung pulang ya.. temenin Mbak nonton TV sebentar..." Aku mengangguk.
Tidak seperti biasanya, kali ini Mbak Yani kelihatan begitu manja padaku. Di ruang TV ia merebahkan kepalanya di pangkuanku. Ah.. ini kesempatan yang nggak akan datang dua kali pikirku. Sementara tangan kiriku memegang tangan kirinya, tangan kananku membelai-belai rambutnya yang lembut dan harum. Suasana malam itu menjadi terasa romantis. Perlahan-lahan naluri kelaki-lakianku mulai bangkit. Dengan lembut kucium pelipis Mbak Yani, dia diam saja tapi tangannya meremas tanganku.
Sekali lagi pelipisnya kucium, kali ini Mbak Yani membalikkan wajahnya dan menatapku. Tanpa pikir panjang aku perlahan-lahan mendekatkan bibirku pada bibirnya dan kami mulai berciuman. Bibirnya terasa hangat dan lembut sekali di bibirku.
Mbak Yani melepaskan bibirnya, "Don.. nggak enak disini, kita di kamar aja ya..."
Kamipun masuk ke kamar dan Mbak Yani langsung mengunci pintu. Masih dalam posisi berdiri, sambil kubelai rambutnya kembali bibir kami saling melumat.
Tanganku perlahan-lahan mulai menjelajahi tubuhnya. Saat tanganku menyentuh payudaranya, Mbak Yani mendadak melepaskan ciumannya, "Don... jangan..." Tapi dari tatapannya aku merasa kalau Mbak Yani ragu, antara mau dan malu. Aku hanya tersenyum, lalu bibir kami kembali saling melumat. Kuulangi lagi tanganku menjalari tubuhnya perlahan-lahan hingga akhirnya sampai kembali di payudaranya. Kali ini Mbak Yani tidak menolak, malah bibirnya semakin kuat memagut bibirku dan lidahnya terus melilit lidahku. Perlahan-lahan kuremas payudaranya dengan lembut. Mbak Yani semakin erat memelukku dan tangannya juga mulai aktif menggerayangi punggungku. Satu demi satu kancing bajunya kubuka, tak ada tanda-tanda Mbak Yani melarangku. Akhirnya tanganku mulai berani masuk ke sela-sela BH-nya dari bawah.
Ah... betapa empuk dan hangatnya payudara gadis cantik ini. Payudaranya jelas tidak sebesar punya Tante Nita tapi yang pasti terasa lebih kencang dan mulus. Ketika jariku mulai menyentuh puting susunya yang mungil Mbak Yani mulai menggeliat terangsang. Perlahan-lahan kulepas baju Mbak Yani, lalu kemudian BH-nya. Akupun melepas bajuku sehingga kami berdua berciuman dalam keadaan telanjang setengah badan.
Mbak Yani kemudian mengajakku ke tempat tidurnya, ia langsung merebahkan diri dan menarik tanganku untuk berbaring di sebelahnya. Di atas tempat tidur, sambil bibir kami saling melumat, tangan kananku terus aktif memainkan payudara dan putingnya. Mbak Yani makin terangsang dan mulai berdesah-desah keenakan, "Ah...mmh...mmhhh..."
Kemudian tanganku mulai berpindah ke bawah, perlahan-lahan kubuka kancing dan resleting celana jeansnya. Tanganku mulai menyelinap ke balik celana dalamnya. Kurasakan bulu-bulu halus disekitar vagina Mbak Yani, kemudian jariku menemukan belahan vaginanya yang hangat dan mulai basah. Saat jari tengahku menyentuh klitorisnya, Mbak Yani mendesah kuat tertahan sambil memegang tanganku, "Mmmhhh.....uuuhh.."
Kepalaku mulai turun ke bawah, ke arah payudara Mbak Yani. Sementara tanganku terus mengeksplorasi klitoris dan lubang vagina Mbak Yani, lidahku yang nakal mulai menjilati payudara dan putingnya. Kadang-kadang putingnya kuemut dan kuhisap sambil kupermainkan dengan lidah. Mbak Yani terus menggelinjang keenakan sambil tangan kirinya meremas rambutku sementara itu nafasnya terdengar mulai berat.
"Mbak, aku lepas semua ya...," kataku sambil melepaskan celana jeans dan celana dalam dari kakinya. Mbak Yani hanya diam pasrah. Aku lalu melepaskan celanaku sendiri sehingga kami berdua terbaring di tempat tidurnya tanpa sehelai benangpun. Sejenak kutatapi seluruh tubuh Mbak Yani, indah sekali. Lekuk tubuhnya nyaris sempurna dan mulus sekali tanpa cacat sedikitpun. Payudaranya yang berukuran sedang menyembul kencang dengan putingnya yang mungil berwarna sedikit lebih gelap dari kulitnya. Sementara itu di vaginanya tampak ditumbuhi bulu-bulu halus yang mencoba menutupi belahannya yang terlihat basah dan berwarna merah muda.
"Mbak Yani cantik sekali... indah luar biasa..," pujian spontan keluar dari mulutku. Mbak Yani hanya tersenyum malu, kulihat wajahnya yang putih berubah memerah. Ah.. Mbak Yani, sekarang nilaimu kutambah jadi 9!
Perlahan-lahan aku mengambil posisi di antara kedua kakinya. Kuangkat kaki kiri Mbak Yani dan betisnya kujilati, perlahan-lahan jilatanku bergeser ke lutut lalu ke daerah pahanya. Akhirnya sampailah aku di pangkal pahanya. Dengan lembut kusibakkan bulu-bulu halusnya dan jari-jariku mulai membuka belahan vaginanya, sehingga lubang vagina Mbak Yani dan klitorisnya yang mungil tampak jelas. Langsung kukecup vagina Mbak Yani dan kujilati liangnya dengan penuh semangat, sementara Mbak Yani tergolek pasrah sambil memejamkan mata. Aroma vagina Mbak Yani yang khas membuatku semakin bernafsu. Saat klitorisnya kupermainkan dengan lidahku Mbak Yani mendesah lagi dan menekan kepalaku dengan kedua tangannya, "Aahhh.. Doni... Mmhh..."
Tidak sampai 5 menit Mbak Yani mulai tidak tahan dan minta berhenti, "Stop dulu Don.. Mbak udah nggak tahan... nanti keluar, Mbak mau gantian, boleh?"
Aku melepaskan kepalaku dari selangkangan Mbak Yani dan pindah berbaring di sebelahnya. Mbak Yani bangkit memegang penisku dan langsung menjilatinya sambil tangannya meremas buah zakarku. Mbak Yani tidak membiarkan satu bagianpun dari penisku yang bebas dari jilatan lidahnya, semuanya dijilati habis mulai daripangkal penis sampai kepala penis dan lubangnya. Bahkan sesekali ia menjilati bola pingpongku sampai ke bagian pangkalnya sehingga menimbulkan rasa geli-geli nikmat yang luar biasa.
Setelah puas dengan lidahnya, ia mulai memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Sambil bibirnya menghisap, Mbak Yani terus mempermainkan batang penisku dengan lidahnya. Luar biasa, tidak kusangka Mbak Yani yang cantik dan sehari-hari demikian sopan dan lembut ternyata sangat mahir dalam mempermainkan penis seorang pria.
Pinggulku tanpa sadar mulai bergerak-gerak mengimbangi rangsangan Mbak Yani dan aku mulai mendesah-desah ke enakan, "Mmh... Mbak... enak Mbak... terusin Mbak..." Sementara aku menikmati oral Mbak Yani, tanganku menyelinap di bawah perutnya dan mulai menjelajahi selangkangannya. Aku langsung mengusap-usap klitoris Mbak Yani yang sudah sangat basah dan mengeras dengan jari tengahku.
Tidak berapa lama kemudian badan Mbak Yani terasa mulai bergetar tak teratur, ia langsung melepaskan penisku dan menarik tanganku dari klitorisnya. "Doni... masukin sekarang ya... Mbak hampir nggak tahan..," katanya sambil merebahkan diri di sampingku dengan nafas yang terengah-engah.
Aku bangkit, Mbak Yani langsung mengangkat lutut dan membuka kakinya. Celah vagina Mbak Yani tampak sedikit terbuka dan sudah basah oleh cairannya sendiri.
"Mbak, kalau Doni keluar di dalam bagaimana?" tanyaku.
"Enggak apa-apa, Mbak baru selesai mens dua hari yang lalu jadi sekarang masih aman," katanya sambil tersenyum menantang. Ah.. Mbak Yani, tergeletak pasrah seperti itu membuatnya tampak seksi sekali dan aku menjadi sangat terangsang. Penisku terasa mengeras dan membesar siap meledak. Aku ingin segera menindih tubuhnya dan memasukkan penisku ke dalam vaginanya.
Langsung kuarahkan penisku ke selangkangannya, perlahan kubuka bibir vagina Mbak Yani dan kepala penisku kuletakkan tepat di atas lubang vaginanya. Dengan dorongan yang perlahan tapi pasti masuklah seluruh penisku ke dalam lubang Mbak Yani. "Mmhh....," Mbak Yani mendesah perlahan sambil menggigit bibirnya. Gila, rasanya enak banget. Dibanding dengan punya Tante Nita jelas vagina Mbak Yani lebih fresh dan lebih sempit. Aku merasakan batang penisku dari pangkal sampai ujung seperti dicengkeram oleh dinding-dinding vagina Mbak Yani. Sambil kucium lehernya, kumasukkan penisku dalam-dalam dan kutahan bberapa saat untuk meresapi sensasi nikmat yang diberikan oleh vagina Mbak Yani.
Akhirnya pinggul Mbak Yani mulai bergerak-gerak meminta aku untuk menggesek-gesekkan penisku. Akupun mulai menggerak-gerakan pinggulku untuk menancapkan penisku berulang-ulang ke dalam vagina Mbak Yani. Sementara itu tangan kiriku menggenggam tangan kanan Mbak Yani dan tangan kananku meremas payudara serta mempermainkan putingnya. Mata Mbak Yani tampak terpejam dan bibir bawahnya terus digigit menahan nikmat. Kami berganti posisi berkali-kali, kadang Mbak Yani di atas, lalu kembali aku yang di atas.
Kira-kira setelah limabelas menit berlalu kurasakan gerakan Mbak Yani makin lama makin kuat dan desahannya makin sering serta nafasnya semakin berat. Sementara itu tangannya makin erat memelukku. Kelihatannya Mbak Yani sudah hampir orgasme dan akupun mulai merasakan dorongan yang sama... aku sudah hampir kehilangan kontrol.
"Doni.. mmhh... Mbak udah hampir keluar.."
"Doni juga Mbak, kita barengan ya..."
"Mmmh... Doni... Mbak nggak tahan lagi...Aaah..."
Pinggul Mbak Yani terasa menyentak-nyentak ke atas, akupun menusukkan penisku makin cepat dan makin dalam...sampai akhirnya kenikmatan puncak itu sudah tidak dapat kami tahankan lagi....
"Donii.... Uuuhhhh... aaahhhhh..."
"Mbak Yani..... Aaaaghhhh......"
Kupeluk Mbak Yani erat-erat dan diapun mencengkeram punggungku dengan sekuat tenaga, kami orgasme bersamaan dengan penisku tertanam dalam-dalam di vagina Mbak Yani sambil mengeluarkan seluruh isinya. Sebuah orgasme yang luar biasa nikmat. Kami berpelukan cukup lama sampai akhirnya aku mulai merasakan kelelahan akibat orgasme yang intens. Kukecup bibir Mbak Yani dan aku merebahkan diriku di sampingnya. Mbak Yani terlihat terengah-engah kelelahan, matanya masih terpejam dan mulutnya sedikit terbuka.
Kupandangi wajah Mbak Yani yang basah oleh keringat tampak begitu cantik dan seksi dalam kelelahannya. Tapi tiba-tiba kulihat ada air mata yang menetes dari kedua ujung matanya. Aku tersadar kalau aku mungkin telah melakukan perbuatan yang tidak seharusnya kulakukan. Aku telah mengambil kesempatan dari kerapuhan emosi Mbak Yani saat dia sedang patah hati...
"Mbak... Doni minta maaf mbak... seharusnya Doni nggak begitu sama Mbak Yani..," kataku sambil membelai rambutnya. Mbak Yani mengusap air matanya dan menatapku sambil tersenyum.
"Nggak apa-apa Don, Mbak nggak nyesel melakukan ini dengan kamu. Mbak hanya teringat sama si Ary sialan itu. Mbak sudah menyerahkan segalanya sama dia dan sampai kami putus Mbak tidak pernah dengan orang lain selain dia. Tapi ternyata....,"
"Sudahlah... Mbak... nggak usah diingat lagi...," aku spontan meletakkan telunjukku di mulutnya supaya Mbak Yani tidak terus bicara mengenai bekas cowoknya.
Aku lega karena bukan aku yang menyebabkannya menangis, langsung kubelai lagi rambut Mbak Yani dan kukecup lembut bibirnya. Kubiarkan Mbak Yani merebahkan kepalanya di dadaku sambil kupeluk. Malam itu terasa begitu indah sekali, sayang sekali aku tidak bisa menginap di rumah Mbak Yani. Aku tidak ingin Mbak Yani diusir dari tempat kosnya gara-gara aku.
Sejak saat itu hubunganku dengan Mbak Yani menjadi semakin dekat, dan setiap ada kesempatan kami tidak segan-segan mengulangi lagi apa yang kami perbuat malam itu. Mbak Yani tidak pernah menyesalinya, apalagi aku. Tapi hubunganku dengan Mbak Yani tetap seperti adik-kakak, sekalipun sebenarnya aku mengharapkan bisa menjadi kekasihnya. Tampaknya Mbak Yani masih belum mau menjalin kisah asmara baru dengan siapapun.
Hubunganku dengan Mbak Yani tidak berlangsung lama karena tujuh bulan setelah itu Mbak Yani lulus dan kembali ke Malang. Sebelum kami berpisah Mbak Yani sempat meneraktirku menginap semalam di Hotel Putri Gunung, Lembang. Katanya Mbak Yani mau punya kenangan indah denganku.
Kami menikmati malam terakhir itu dengan bersetubuh sepanjang malam sampai kami benar-benar lelah dan tertidur pulas hingga siang. Begitu bangun tidur kami langsung melakukannya lagi, di tempat tidur, di lantai, dan juga di bathtub. Kalau kelelahan kami hanya berbaring tanpa busana sambil berpelukan menunggu energi kami pulih kembali. Kami hanya keluar kamar untuk makan dan sekadar jalan-jalan di sekitar hotel, setelah itu kami kembali ke kamar untuk bercumbu, bersenggama, dan menikmati setiap detik kebersamaan kami yang terakhir. Kami pulang kembali ke Bandung dalam keadaan lelah dan benar-benar puas.
Lima tahun kemudian, aku menerima sebuah undangan perkawinan bertuliskan, "Kepada Adikku Tersayang...." Aku bersyukur ternyata kakakku yang cantik itu akhirnya menikah juga dengan pria pilihannya. Calon suaminya seorang pengusaha real-estate. Aku datang ke pesta perkawinannya di Malang dan memberikan selamat serta doa... Mbak semoga suamimu tidak pernah membuatmu menangis seperti dulu.
0 komentar: to “ Cerita Panas Gairahku Dengan Mbak Yani ”
Posting Komentar